{UNIQUE NEWS CENTER at home and abroad}
Local Wisdom alias kearifan local belakangan ini lagi “naik daun” (suatu ketika nanti mungkin jadi naik dahan or naik pohon). Kalangan intelektual ramai membicarakannya. Bahkan akhir tahun lalu (2010) meski sempat dipending karena Merapi batuk – pilek, digelar juga perhelatan akbar bertajuk “Local Wisdom Inspiring Global Solution” di kampus saya yang katanya kampus terbesar di Indonesia ini. Ya, di tengah carut marutnya persoalan bangsa yang tidak sanggup diselesaikan dengan cara – cara “modern” serta fakta bahwa kadang – kadang masyarakat tradisional dengan budaya atau adat setempatnya mampu menyelesaikan persoalan tersebut dengan lebih baik, sebagian intelektual mulai berfikir untuk menyerahkan penyelesaian berbagai persoalan tersebut ke masayarakat dengan kebijakan atau kearifan yang berlaku di daerahnya masing – masing. Mereka menaruh harapan besar bahwa masyarakat dengan kearifan lokalnya mampu menyelesaikan banyak persoalan yang tidak mampu diselesaikan dengan cara – cara “modern”. Tidak hanya itu, mereka berharap kearifan lokan akan mampu menjawab tantangan global.
Namun, mampukah local wisdom menjawab tantangan global yang begitu kompleks? Sedimikian solutifkah kearifan lokal sehingga ia layak dijadikan “tempat kembali” – nya berbagai macam persoalan yang tak terselesaikan?
Di Balik Naik Daun-nya Kearifan Lokal
Seruan untuk menyerahkan penyelesaian berbagai macam persoalan kepada kearifan lokal setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama: secara tidak langsung para intelektual teresebut mengakui, bahkan dunia mengakui bahwa sistem / aturan / tatakelola yang diterapkan saat ini tidak mampu memecahkan berbagai permasalahan kehidupan, bahkan semakin memperparah keadaan. Ini jelas menunjukkan ketidaklayakan sistem ini untuk dipertahankan dan harus segara mencari penggantinya. Kedua, fenomena ini menunjukkan kuatnya keinginan kaum intelektual untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada. Tentu keinginan ini layak untuk diapresiasi.
Ketidakmampuan sistem yang diterapkan sekarang dalam menyelesaiakan berbagai persoalan bukanlah isapan jempol belaka. Apalagi menciptakan kehidupan yang ideal. Jauh panggang dari api. Lihatlah betapa sistem yang ada tidak mampu menyelesaikan permasalahan kerusakan lingkungan. Lihatlah pula bahwa sistem sekarang gagal menciptakan tata pergaulan yang beradab. Juga sederet permasalahan lain yang tak mampu diselesaikan oleh sistem yang ada.
Di lain sisi, harus diakui bahwa tidak sedikit kearifan lokal yang mampu memberikan solusi untuk beberapa permasalahan tersebut. Sebelum menyebutkan beberapa kearifan lokal yang mampu memberikan solusi tersebut, mungkin ada baiknya jika kita menyamakan definisi terkait kearifan lokal. Kearifan lokal merupakan terjeamahan dari frase “local wisdom”. Dalam berbagai literature, ditemukan penjelasan mengenai lokal wisdom sebagai berikut: “Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.”. Lebih jauh, Sartini seorang dosen Fakultas Filsafat UGM menyebutkan bahwa kearifan lokal merupakan merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional.
Beberapa contoh kearifan lokal di berbagai daerah yang sedikit – banyak mampu meberikan andil dalam menyelesaikan beberapa persoalan antara lain:
1. Papua. Terdapat kepercayaan “te aro neweak lako” (alam adalah aku). Gunung Erstberg dan Garsberg dianggap sebagai kepala mama, sedangkan tanah dianggap sebagai bagian dari hidup manusia. Dengan demikian, masyarakat sangat menjaga kelestarian alamnya
2. Dayak, Kalimantan Timur memiliki tradisi Tana’ ulen yang mewjibkan kawasan hutan dikuasai dan menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur oleh aturan adat
3. Masyarakat Undau Mau, Kalimantan Barat yang memiliki pola penataan ruang pemukiman dengan mengklasifikasikan hutan dan pemanfaatannya. Peladangan dilakukan dengan rotasi melalui penetapan masa bera dan hanya menggunakan teknologi yang ramah lingkungan
Pada faktanya, beberapa kearifan lokal memang dapat menyelesaikan sebagaian persoalan yang tidak sanggup diselesaikan oleh sistem “modern”, tetapi upaya untuk menjadikannya sebagai sumber solusi masih memerlukan penelaahan lebih lanjut. Pun upaya mensinergiskan berebagai kearifan dari seluruh penjuru negeri guna menjadi solusi permasalahan yang utuh masih perlu pengkajian lebih dalam. Penelaahan yang dimaksud terkait dengan penelaahan mengenai hakikat sumber permasalahan yang ada saat ini.
1. Papua. Terdapat kepercayaan “te aro neweak lako” (alam adalah aku). Gunung Erstberg dan Garsberg dianggap sebagai kepala mama, sedangkan tanah dianggap sebagai bagian dari hidup manusia. Dengan demikian, masyarakat sangat menjaga kelestarian alamnya
2. Dayak, Kalimantan Timur memiliki tradisi Tana’ ulen yang mewjibkan kawasan hutan dikuasai dan menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur oleh aturan adat
3. Masyarakat Undau Mau, Kalimantan Barat yang memiliki pola penataan ruang pemukiman dengan mengklasifikasikan hutan dan pemanfaatannya. Peladangan dilakukan dengan rotasi melalui penetapan masa bera dan hanya menggunakan teknologi yang ramah lingkungan
Pada faktanya, beberapa kearifan lokal memang dapat menyelesaikan sebagaian persoalan yang tidak sanggup diselesaikan oleh sistem “modern”, tetapi upaya untuk menjadikannya sebagai sumber solusi masih memerlukan penelaahan lebih lanjut. Pun upaya mensinergiskan berebagai kearifan dari seluruh penjuru negeri guna menjadi solusi permasalahan yang utuh masih perlu pengkajian lebih dalam. Penelaahan yang dimaksud terkait dengan penelaahan mengenai hakikat sumber permasalahan yang ada saat ini.
Menilik berbagai permasalah yang ada, tidak dapat dipungkiri bahwa semua masalah tersebut saling terkait satu sama lain dan tidak berdiri sendiri. Oleh karenanya, untuk nyelesaikannya haruslah terlebih dahulu menelurusi akar permasalahan yang melahirkan berbagai permasalahan lainnya. Jika kita mau jujur, akan dapat kita simpulkan bahwa seluruh permasalahan yang ada adalah buah dari pengabaian sistem yang telah diturunkan oleh Sang Pencipta alam semesta. Ibarat sebuah barang, yang paling mengetahui seluk beluk dan perawatan terbaik untuk barang tersebut adalah Penciptanya. Tapi, manusia dengan segala kesombongan dan kepongahannya mengabaikan petunjuk perawatan barang dari sang Pencitanya. Bahkan dengan sok tau-nya mengatakan bahwa sistem tersebut telah kadaluarsa dan tidak compatible dengan perkembangan zaman yang telah begitu pesat. Atau setidaknya mereka hanya menghiraukan aturan Pencipta tersebut pada salah satu ranah kehidupan, yaitu pada ranah ibadah ritual. Selebihnya Pencipta dianggap tidak tahu apa – apa tentang kehidupan manusia dan alam ciptaan – NYA sehingga manusia sendirilah yang paling layak menciptakan sistem untuk mengatur kehidupannya. Lahirlah sekulerisme. Pengabaian terhadap aturan dari Sang Pencipta inilah yang sesungguhnya menjadi sumber segala permasalahan yang ada.
Menyikapi Local Wisdom
Karena sumber dari segala sumber permaslahan yang ada saat ini adalah pengabaian aturan dari Sang Pencipta dan lebih memilih bersandar pada sistem yang dibuat oleh manusia sedangkan local wisdom sendiri juga merupakan sistem / aturan manusia, maka adalah tindakan yang kurang tepat jika kita ingin menyelesaikan seluruh permasalahan yang dengan tetap menyandarkan diri pada sistem buatan manusia. Seharusnya, solusi yang kita ambil adalah dengan mengembalikan sistem yang diturunkan oleh Sang Pencipta ke tempatnya; yaitu seluruh ranah kehidupan. Dengan kata lain kita harus meletakkan sistem tersebut dalam seluruh ranah kehidupan, bukan hanya meletakkannya di salah satu sudut kehidupan.
Namun demikian, bukan berarti kita dilarang megambil local wisdom secara keseluruhan. Tidak demikian. Kita boleh saja mengambil beberapa local wisdom dengan catatan, aturan Pencipta tetap dijadikan hakim pemutus apakah local wisdom tersebut layak diambil atau tidak. Selama local wisdom tersebut bersesuaian denga hukum syara’, maka silakan saja diambil. Bukan sebaliknya, local wisdom dijadikan sebagai hakim pemutus apakah hukum syara’ dapat diterapkan di suatu daerah atau tidak. Demikian. ALLAHU A’lam.
Comments
Post a Comment
Tinggalkan comentar anda!!
Caranya : (1) Ketik Komentar Anda, (2) Klik "Select profile", (3) Pilih "Name/URL", (4) Ketik Nama Anda ya... (5) URL Isi dengan Link Facebook Anda atau Kosongin aja, (6) Klik "Lanjutkan" dan "Poskan Komentar"
Untuk Pengguna Facebook Silahkan Berkomentar
No Spam!!