_COMPLEX COMMUNITY_
Zaman batu tidak berakhir karena kehabisan batu, tetapi zaman minyak berakhir jauh sebelum bumi kehabisan cadangan minyaknya.”
Begitulah futurolog James Canton, Chief Executive Officer and Chairman Institute for Global Future, membuka ulasannya, ”A New Energy Age” dalam bab 2 bukunya, The Extreme Future (2006).
Simpel tetapi sarat makna untuk direnungkan. Digambarkan, ada 10 tren ekstrem di bidang energi. Di antaranya, kita tengah berada di era kehabisan energi. Permintaan global akan menghabiskan cadangan energi dalam 25 tahun ke depan, kecuali sumber-sumber energi baru ditemukan. Kekurangan energi akan menurunkan produk domestik bruto (PDB).
Keamanan energi akan menjadi medan perang yang dahsyat di abad ke-21, menjadi ajang kerja sama maupun konflik global pada masa depan.
Bangsa-bangsa akan jatuh bangun dalam menggapai akses ke sumber-sumber energi masa depan. Kekuatan-kekuatan ekonomi baru, seperti China dan India, akan bersaing dengan Amerika dan Eropa dalam pertarungan kekuasaan geopolitis baru.
Ketergantungan dunia pada minyak akan berakhir. Sumber-sumber energi yang bebas polusi dan terbarukan, seperti tenaga surya, hidrogen, pembelahan atom, dan tenaga angin, akan menjadi inti kemakmuran masa depan.
Di manakah kita kini? Dalam konteks Indonesia, ”zaman minyak” tersebut sudah tiba. Indonesia tidak lagi menjadi anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Walaupun masih tetap mengekspor minyak, kebutuhan impor bahan bakar juga lebih banyak. Indonesia sudah pengimpor minyak neto.
Subsidi bahan bakar minyak yang ditanggung anggaran pendapatan dan belanja negara membengkak luar biasa akibat dari melonjaknya harga minyak mentah di pasar internasional. Kita babak belur soal minyak, dan akan terus kerepotan. Energi alternatif hanyalah janji kosong pemerintah.
Strategi kebijakan energi dan migas di sektor hulu dan hilir sejak dulu tak pernah tersambung secara baik, bahkan salah arah. Setiap sektor terlepas dari rantai panjang industri besar migas, yang seharusnya justru menjadi kekuatan dahsyat bangsa ini. Produk-produk berbasis migas di hilir produksi industri yang paling ujung, seperti untuk komponen otomotif dan rumah tangga, terlepas antara satu dan lainnya.
Sebagai produsen gas, Indonesia dielus importir, tetapi industri nasional justru merana kekurangan gas. Pemerintah terlalu patuh pada kontrak yang banyak dikritik justru merugikan, setidaknya benefitnya tidak optimal bagi kepentingan nasional.
Di sektor hulu migas, produksi bukannya bertambah cepat; yang terjadi justru sebaliknya, terus menurun. Bahkan sampai sekarang ”perselisihan” antara produsen gas dan produsen pupuk masih selalu terjadi. Padahal, sebagai negara agraris berpenduduk 230 juta, sebagian besar menggantungkan hidup di sektor pertanian, pupuk seharusnya menjadi ”harga mati” yang tak boleh kisruh pengelolaannya.
Inilah bukti adanya mismatch dalam kebijakan energi nasional.
Belum kiamat
Indonesia belum kiamat, tetapi, bangsa ini, setidaknya pemerintah mendatang, harus memiliki keinginan kuat dan keberanian untuk menegosiasikan ulang kontrak-kontrak pertambangan dan energi yang merugikan negara. Selain itu, tidak boleh ada suatu perusahaan asing yang dominan dalam pengelolaan sumber-sumber energi kita.
Hendaknya kita menegakkan ”kedaulatan” bangsa dengan kembali ke UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa bumi dan segala kandungannya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Luar biasa kekayaan negara ini. Masih banyak komoditas yang jadi keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif kita dibandingkan dengan negara lain. Persoalannya, kurang keras upaya memberi nilai tambah komoditas unggulan tersebut.
Di luar migas, bumi Nusantara dari Sabang sampai Merauke terhampar lahan pertanian dan perkebunan, hutan belantara berikut flora dan fauna tak terkira. Tetapi setelah 64 tahun merdeka, apa yang dicapai dan bisa dipertanggungjawabkan dalam pengelolaan sumber daya alam itu?
Ini bukanlah sebuah pesimisme, tetapi sebuah realitas yang dihadapi, dan mesti dijadikan dasar pijakan, titik tolak untuk membangun optimisme menghadapi masa depan ekstrem yang penuh persaingan ketat.
Kesalahan manajemen migas janganlah terjadi pada komoditas unggulan lain yang masih dalam genggaman saat ini, seperti batu bara, kelapa sawit, dan kakao. Komoditas itu bisa membuka pintu kemakmuran rakyat apabila dikelola secara baik, sesuai semangat UUD 1945 tersebut.
Indonesia penghasil dan pengekspor biji kakao terbesar ketiga atau keempat di dunia, tetapi tidak pernah diperhitungkan sebagai produsen cokelat. Bahkan kini banyak petani yang menelantarkan kebunnya yang didera penyakit dan usia tua akibat kurangnya perhatian pemerintah. Indonesia memiliki kebun kelapa sawit yang sangat luas dan menjadi produsen minyak kelapa sawit mentah (CPO) terbesar di dunia, tetapi masyarakat bermasalah dengan minyak goreng.
Cadangan batu bara begitu besar, tetapi pembangkit PLN kadang mesti istirahat gara-gara bahan bakar tersendat.
Kita paham ada 230 juta perut yang butuh banyak, tetapi kebijakan pangan tambal sulam, termasuk urusan pupuk yang membutuhkan gas. Mengapa rekayasa benih tidak dipercepat untuk mencapai produktivitas tinggi, mengapa pengembangan teknologi pangan cuma sayup-sayup terdengar tanpa gerakan massal dari rumusan kebijakan sampai implementasi? Ironis...!
Lagi-lagi strategi besar pengembangan komoditas unggulan masih bermasalah. Industrialisasi yang ditopang pertanian, berbasis komoditas unggulan itu, tidak berjalan secara ideal.
Apakah kita mau kelak hanya meratapi komoditas unggulan itu seperti kisah ”zaman batu” di awal tulisan ini, atau ingin memasuki masa depan ekstrem dengan kepala tegak dan tersenyum? Kini saatnya berubah secara radikal, sebelum digilas bangsa lain.
Zaman batu tidak berakhir karena kehabisan batu, tetapi zaman minyak berakhir jauh sebelum bumi kehabisan cadangan minyaknya.”
Begitulah futurolog James Canton, Chief Executive Officer and Chairman Institute for Global Future, membuka ulasannya, ”A New Energy Age” dalam bab 2 bukunya, The Extreme Future (2006).
Simpel tetapi sarat makna untuk direnungkan. Digambarkan, ada 10 tren ekstrem di bidang energi. Di antaranya, kita tengah berada di era kehabisan energi. Permintaan global akan menghabiskan cadangan energi dalam 25 tahun ke depan, kecuali sumber-sumber energi baru ditemukan. Kekurangan energi akan menurunkan produk domestik bruto (PDB).
Keamanan energi akan menjadi medan perang yang dahsyat di abad ke-21, menjadi ajang kerja sama maupun konflik global pada masa depan.
Bangsa-bangsa akan jatuh bangun dalam menggapai akses ke sumber-sumber energi masa depan. Kekuatan-kekuatan ekonomi baru, seperti China dan India, akan bersaing dengan Amerika dan Eropa dalam pertarungan kekuasaan geopolitis baru.
Ketergantungan dunia pada minyak akan berakhir. Sumber-sumber energi yang bebas polusi dan terbarukan, seperti tenaga surya, hidrogen, pembelahan atom, dan tenaga angin, akan menjadi inti kemakmuran masa depan.
Di manakah kita kini? Dalam konteks Indonesia, ”zaman minyak” tersebut sudah tiba. Indonesia tidak lagi menjadi anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Walaupun masih tetap mengekspor minyak, kebutuhan impor bahan bakar juga lebih banyak. Indonesia sudah pengimpor minyak neto.
Subsidi bahan bakar minyak yang ditanggung anggaran pendapatan dan belanja negara membengkak luar biasa akibat dari melonjaknya harga minyak mentah di pasar internasional. Kita babak belur soal minyak, dan akan terus kerepotan. Energi alternatif hanyalah janji kosong pemerintah.
Strategi kebijakan energi dan migas di sektor hulu dan hilir sejak dulu tak pernah tersambung secara baik, bahkan salah arah. Setiap sektor terlepas dari rantai panjang industri besar migas, yang seharusnya justru menjadi kekuatan dahsyat bangsa ini. Produk-produk berbasis migas di hilir produksi industri yang paling ujung, seperti untuk komponen otomotif dan rumah tangga, terlepas antara satu dan lainnya.
Sebagai produsen gas, Indonesia dielus importir, tetapi industri nasional justru merana kekurangan gas. Pemerintah terlalu patuh pada kontrak yang banyak dikritik justru merugikan, setidaknya benefitnya tidak optimal bagi kepentingan nasional.
Di sektor hulu migas, produksi bukannya bertambah cepat; yang terjadi justru sebaliknya, terus menurun. Bahkan sampai sekarang ”perselisihan” antara produsen gas dan produsen pupuk masih selalu terjadi. Padahal, sebagai negara agraris berpenduduk 230 juta, sebagian besar menggantungkan hidup di sektor pertanian, pupuk seharusnya menjadi ”harga mati” yang tak boleh kisruh pengelolaannya.
Inilah bukti adanya mismatch dalam kebijakan energi nasional.
Belum kiamat
Indonesia belum kiamat, tetapi, bangsa ini, setidaknya pemerintah mendatang, harus memiliki keinginan kuat dan keberanian untuk menegosiasikan ulang kontrak-kontrak pertambangan dan energi yang merugikan negara. Selain itu, tidak boleh ada suatu perusahaan asing yang dominan dalam pengelolaan sumber-sumber energi kita.
Hendaknya kita menegakkan ”kedaulatan” bangsa dengan kembali ke UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa bumi dan segala kandungannya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Luar biasa kekayaan negara ini. Masih banyak komoditas yang jadi keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif kita dibandingkan dengan negara lain. Persoalannya, kurang keras upaya memberi nilai tambah komoditas unggulan tersebut.
Di luar migas, bumi Nusantara dari Sabang sampai Merauke terhampar lahan pertanian dan perkebunan, hutan belantara berikut flora dan fauna tak terkira. Tetapi setelah 64 tahun merdeka, apa yang dicapai dan bisa dipertanggungjawabkan dalam pengelolaan sumber daya alam itu?
Ini bukanlah sebuah pesimisme, tetapi sebuah realitas yang dihadapi, dan mesti dijadikan dasar pijakan, titik tolak untuk membangun optimisme menghadapi masa depan ekstrem yang penuh persaingan ketat.
Kesalahan manajemen migas janganlah terjadi pada komoditas unggulan lain yang masih dalam genggaman saat ini, seperti batu bara, kelapa sawit, dan kakao. Komoditas itu bisa membuka pintu kemakmuran rakyat apabila dikelola secara baik, sesuai semangat UUD 1945 tersebut.
Indonesia penghasil dan pengekspor biji kakao terbesar ketiga atau keempat di dunia, tetapi tidak pernah diperhitungkan sebagai produsen cokelat. Bahkan kini banyak petani yang menelantarkan kebunnya yang didera penyakit dan usia tua akibat kurangnya perhatian pemerintah. Indonesia memiliki kebun kelapa sawit yang sangat luas dan menjadi produsen minyak kelapa sawit mentah (CPO) terbesar di dunia, tetapi masyarakat bermasalah dengan minyak goreng.
Cadangan batu bara begitu besar, tetapi pembangkit PLN kadang mesti istirahat gara-gara bahan bakar tersendat.
Kita paham ada 230 juta perut yang butuh banyak, tetapi kebijakan pangan tambal sulam, termasuk urusan pupuk yang membutuhkan gas. Mengapa rekayasa benih tidak dipercepat untuk mencapai produktivitas tinggi, mengapa pengembangan teknologi pangan cuma sayup-sayup terdengar tanpa gerakan massal dari rumusan kebijakan sampai implementasi? Ironis...!
Lagi-lagi strategi besar pengembangan komoditas unggulan masih bermasalah. Industrialisasi yang ditopang pertanian, berbasis komoditas unggulan itu, tidak berjalan secara ideal.
Apakah kita mau kelak hanya meratapi komoditas unggulan itu seperti kisah ”zaman batu” di awal tulisan ini, atau ingin memasuki masa depan ekstrem dengan kepala tegak dan tersenyum? Kini saatnya berubah secara radikal, sebelum digilas bangsa lain.
Comments
Post a Comment
Tinggalkan comentar anda!!
Caranya : (1) Ketik Komentar Anda, (2) Klik "Select profile", (3) Pilih "Name/URL", (4) Ketik Nama Anda ya... (5) URL Isi dengan Link Facebook Anda atau Kosongin aja, (6) Klik "Lanjutkan" dan "Poskan Komentar"
Untuk Pengguna Facebook Silahkan Berkomentar
No Spam!!