MENGGALI KEARIFAN LOKAL NUSANTARA SEBUAH KAJIAN FILSAFATI

Eksplorasi terhadap kekayaan luhur budaya bangsa tersebut sangat perlu 
untuk dilakukan, sekaligus juga berupaya untuk mengkritisi eksistensinya terkait 
dengan keniscayaan adanya perubahan budaya. Ruang eksplorasi dan pengkajian 
kearifan lokal menjadi tuntutan tersendiri bagi pengembangan institusional 
filsafat dan bagi eksplorasi khasanah budaya bangsa pada umumnya.  
PENGERTIAN KEARIFAN  LOKAL (LOCAL WISDOM) 
 Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua 
kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John 
M. Echols dan Hassan Syadily,  local berarti setempat, sedangkan  wisdom 
(kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka  local wisdom
(kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) 
yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti 
oleh anggota masyarakatnya. 
Local Genius sebagai Local Wisdom
Dalam disiplin antropologi dikenal istilah  local genius. Local genius ini
merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para
antropolog membahas secara panjang lebar pengertian  local genius ini (lihat
Ayatrohaedi, 1986). Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa  local
genius adalah juga  cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang
menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing
sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara
Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya
daerah potensial sebagai  local genius karena telah teruji kemampuannya untuk
bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah:
1. mampu bertahan terhadap budaya luar
2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar

3. mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam
budaya asli
4. mempunyai kemampuan mengendalikan
5. mampu memberi arah pada perkembangan budaya.

I Ketut Gobyah dalam “Berpijak pada Kearifan Lokal”  dalam http://www.
balipos.co.id, didownload 17/9/2003, mengatakan bahwa kearifan lokal (local
genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau  ajeg dalam suatu daerah.
Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan
berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya
masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal
merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan
pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di
dalamnya dianggap sangat universal.
S. Swarsi Geriya dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam
Iun, http://www.balipos.co.id mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan
lokal dan keunggulan lokal  merupakan  kebijaksanaan manusia yang bersandar
pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara
tradisional. Kearifan lokal  adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga
dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga.
Dalam penjelasan tentang  ‘urf, Pikiran Rakyat terbitan 6 Maret 2003
menjelaskan bahwa tentang kearifan berarti ada yang memiliki kearifan (al-
‘addah al-ma’rifah), yang dilawankan dengan al-‘addah al-jahiliyyah. Kearifan
adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal
serta dianggap baik oleh ketentuan agama.
Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai
baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang
dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak
dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara
terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap
baik atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik akan hanya terjadi apabila
terjadi pemaksaan oleh penguasa. Bila demikian maka ia tidak tumbuh secara
alamiah tetapi dipaksakan.
Contoh dan Fungsi Kearifan Lokal 
Menurut Prof. Nyoman Sirtha dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg
Bali” dalam http://www.balipos.co.id, bentuk-bentuk kearifan lokal dalam
masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum
adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam-macam
dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat maka fungsinya  menjadi
bermacam-macam.
Balipos  terbitan  4 September 2003 memuat tulisan “Pola Perilaku Orang
Bali Merujuk Unsur Tradisi”,  antara lain memberikan informasi tentang
beberapa fungsi dan makna kearifan lokal, yaitu:
1. Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam

2. Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan
dengan upacara daur hidup, konsep kanda pat rate.
3. Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya
pada upacara saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada pura Panji.
4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
5. Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat.
6. Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian.
7. Bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam upacara Ngaben dan
penyucian roh leluhur.
8. Bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patron
client
Dari penjelasan fungsi-fungsi tersebut tampak betapa luas ranah keraifan
lokal, mulai dari yang sifatnya sangat teologis sampai yang sangat pragmatis dan
teknis.
Elly Burhainy Faizal  dalam SP Daily tanggal 31 Oktober 2003 dalam
http://www.papuaindependent.com mencontohkan beberapa kekayaan budaya,
kearifan lokal di Nusantara yang terkait dengan pemanfaatan alam yang pantas
digali lebih lanjut makna dan fungsinya serta kondisinya sekarang dan yang akan
datang. Kearifan lokal terdapat di beberapa daerah:
1. Papua, terdapat kepercayaan te aro neweak lako (alam adalah aku). Gunung
Erstberg dan Grasberg dipercaya sebagai kepala mama, tanah dianggap
sebagai bagian dari hidup manusia. Dengan demikian maka pemanfaatan
sumber daya alam secara hati-hati.
2. Serawai, Bengkulu, terdapat keyakinan  celako kumali. Kelestarian
lingkungan terwujud dari kuatnya keyakinan ini yaitu tata nilai tabu dalam
berladang dan tradisi tanam tanjak.
3. Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, terdapat tradisi  tana‘ ulen. Kawasan
hutan dikuasai dan menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur
dan dilindungi oleh aturan adat.
4. Masyarakat Undau Mau, Kalimantan Barat. Masyarakat ini mengembangkan
kearifan lingkungan dalam pola penataan ruang pemukiman, dengan
mengklasifikasi hutan dan memanfaatkannya. Perladangan dilakukan dengan
rotasi dengan menetapkan masa  bera,  dan mereka mengenal tabu sehingga
penggunaan teknologi dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan ramah
lingkungan.
5. Masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, Kampung Dukuh Jawa Barat.
Mereka mengenal upacara tradisional,  mitos, tabu, sehingga pemanfaatan
hutan hati-hati. Tidak diperbolehkan eksploitasi kecuali atas ijin sesepuh adat.
6. Bali dan Lombok, masyarakat mempunyai awig-awig.
Kerifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam
masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran
masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya
berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai yang profan.

KEARIFAN LOKAL NUSANTARA DAN KEMUNGKINAN PERUBAHANNYA   
Asal-usul  Budaya Nusantara
Pendapat seputar asal-usul budaya Nusantara antara lain dapat dilihat dalam
http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2003/1018/bud 2.html. Uraian
cukup lengkap yang menggambarkan kekayaan budaya Nusantara  dari sisi
unsur-unsurnya dapat dibaca dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia
(Koentjaraningrat, 1999).
Menurut Fuad Hasan, budaya Nusantara yang plural merupakan kenyataan
hidup (living reality) yang tidak dapat dihindari. Kebhinekaan ini harus
dipersandingkan  bukan dipertentangkan. Keberagaman ini merupakan
manifestasi gagasan dan nilai sehingga saling menguat dan untuk meningkatkan
wawasan dalam saling apresiasi. Kebhinekaannya menjadi bahan perbandingan
untuk menemukan persamaan pandangan hidup yang berkaitan dengan nilai
kebajikan dan kebijaksanaan (virtue and wisdom). Pandangannya tentang budaya
Nusantara ini dapat diakses di http://kongres.budpar.go.id/news/articke/Pokokpokok bahasan.htm.
Beberapa sumber dapat dilacak untuk melihat budaya Jawa, antara lain
sebagai berikut. Pembagian corak budaya Nusantara yang terdiri dari: budaya
Melayu, Budaya Jawa, dan non-Jawa non-Melayu dapat diakses dalam
http://www.indonesiamedia.com/2004/05/early/budaya/budaya-0504-
bhineka.htm. Kekayaan budaya Nusantara yang lain dalam hal bahasa, kesenian,
agama dan perkembangan hukum dapat diakses ke
http://202.159.18.43/data/sos.htm. Informasi lebih dalam konteks pusat budaya
Jawa, lingkup istana, tentang semangat berbudaya Jawa dan pandanganpandangannya dapat diakses ke http://www.Jawapalace.org/kami.html
Perubahan sebagai Keniscayaan 
Kebudayaan dipandang sebagai manifestasi kehidupan setiap orang atau
kelompok orang yang selalu mengubah alam. Kegiatan manusia memperlakukan
lingkungan alamiahnya, itulah kebudayaan. Kebudayaan merupakan usaha
manusia, perjuangan setiap orang atau kelompok dalam menentukan hari
depannya. Kebudayaan merupakan aktivitas yang dapat diarahkan dan
direncanakan (Van Peursen, 1976:10-11). Oleh sebab itu dituntut adanya
kemampuan, kreativitas, dan penemuan-penemuan baru. Manusia tidak hanya
membiarkan diri dalam kehidupan lama melainkan dituntut mencari jalan baru
dalam mencapai kehidupan yang lebih manusiawi. Dasar dan arah yang dituju
dalam perencanaan kebudayaan adalah manusia sendiri sehingga humanisasi
menjadi kerangka dasar dalam strategi kebudayaan (Ali Moertopo,1978;12).
Dengan melihat kearifan lokal sebagai bentuk kebudayaan maka ia akan
mengalami  reinforcement  secara terus-menerus menjadi yang lebih baik. Ali
Moertopo mengatakan bahwa humanisasi merupakan ideal proses dan tujuan
kebudayaan. Oleh karena itu maka kearifan lokal sebagai manifestasi kebudayaan
yang terjadi dengan penguatan-penguatan dalam kehidupannya menunjukkan

sebagai salah satu bentuk humanisasi manusia dalam berkebudayaan. Artinya
sebagai manifestasi humanitas manusia, kearifan lokal dianggap baik sehingga ia
mengalami penguatan secara terus-menerus. Tetapi, apakah ia akan tetap menjadi
dirinya tanpa perubahan, benturan kebudayaan akan menjawabnya.
Dinamika kebudayaan merupakan suatu hal yang niscaya. Hal ini tidak
lepas dari aktivitas manusia dengan peran akalnya. Dinamika atau perubahan
kebudayaan dapat terjadi karena berbagai hal. Secara fisik, bertambahnya
penduduk, berpindahnya penduduk, masuknya penduduk asing, masuknya
peralatan baru, mudahnya akses masuk ke daerah juga dapat menyebabkan
perubahan pada kebudayaan tertentu. Dalam lingkup hubungan antar manusia,
hubungan individual dan kelompok dapat juga mempengaruhi perubahan
kebudayaan. Satu hal yang tidak bisa dihindari bahwa perkembangan dan
perubahan akan selalu terjadi. Di kalangan antropolog ada tiga pola yang
dianggap paling penting berkaitan dengan masalah perubahan kebudayaan:
evolusi, difusi, dan  akulturasi. Landasan dari semua ini adalah penemuan atau
inovasi. (Lauer, 1993:387).  Perubahan pada budaya Nusantara sendiri akan
merupakan suatu wacana yang maha luas akibat pengertian dan ranah budaya
Nusantara sendiri yang sangat luas.
Dalam perjalanannya, budaya Nusantara, baik yang masuk kawasan istana
atau di luar istana, tidak statis. Ia bergerak sesuai dengan perkembangan jaman.
Dengan adanya kontak budaya, difusi, assimilasi, akulturasi sebagaimana
dikatakan sebelumnya, nampak bahwa perubahan budaya di masyarakat akan
cukup signifikan.
Salah satu kajian tentang perubahan masyarakat Jawa, yang sudah
semestinya mengubah tatanan dan aspek-aspek budayanya tampak dalam karya
Niels Mulder (1985) yang berjudul Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Masih
banyak lagi kajian tentang pergeseran dan perubahan budaya yang harus
dieksplorasi lebih lanjut. Soerjanto Poespowardoyo (1993: 63-72), juga
menjelaskan bagaimana perubahan budaya sebagai akibat orientasi nilai budaya
yang berubah ini serta langkah-langkah kebijakan yang dapat dilakukan.

Pengaruh  Lintas Budaya dan Globalisasi 

1. Benturan nilai  dan relativitas budaya 
Individu dan kelompok masyarakat  biasanya menganut nilai sendirisendiri. Bila terjadi pertemuan di antaranya dan satu dengan yang lain nampak
tidak cocok, maka pihak yang satu biasanya merasa benar dan menyalahkan
pihak yang lain. Apabila satu dianggap salah oleh yang lain maka ini
menunjukkan bahwa tindakan-tindakan kultural bukan semata-mata bersifat
subjektif atau pribadi tetapi lebih menjadi bersifat intersubjektif. Individu
sesungguhnya tidak bertindak sendiri. Makna suatu tindakan adalah makna yang
ditanggapi bersama dengan orang lain. Makna ini didasarkan pada asumsi-asumsi
tindakan kultural. Oleh karenanya penilaian kultural menjadi relatif (meskipun
dalam konteks etis ada pihak yang mengambil posisi relativisme etis dan
absolutisme moral, dan menurut pandangan teologi, di atas relativitas tersebut

yang mutlak adalah kebenaran Tuhan). Dalam budaya tertentu orang mungkin
harus mengagung-agungkan dirinya di depan umum dalam rangka memberi
semangat rakyat, tetapi dalam budaya yang lain tindakan tersebut mungkin
dianggap sombong atau bahkan dilarang (Adeney, 1995: 16-17). Dari penjelasan
ini dapat kita pahami bahwa dalam aneka ragam budaya dengan segenap nilai
kulturalnya, ada pemahamanan yang tidak selalu sama antara yang dianggap baik
di pihak yang satu yang berbeda dengan penilaian pihak lain.
Hal yang menjadikan masing-masing orang atau kelompok orang berbedabeda dan menilai sesuatu secara berbeda adalah karena orientasi nilai masingmasing mereka yang berbeda. Perbedaan latar belakang dan orientasi budaya
inilah yang sering menyebabkan terjadinya konflik. Oleh karena itu perlu masingmasing orang atau kelompok orang menyadari perbedaan orientasi nilai budaya
ini. Tentang bagaimana orang yang berbeda nilai budaya ini dapat saling
memahami dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan jalan dialog.
Tentang orientasi nilai budaya secara lengkap dapat dilihat pada model kuantum
individu, sosial, dan kosmos (Adeney, 2000:377-379). Data dimaksud dipakai
sebagai upaya memahami aneka pemahaman dan konsentrasi tiap inidvidu atau
kelompok pada orientasi budaya tertentu. Jelas disini bahwa orientasi yang
berbeda antara individu atau kelompok yang satu dengan yang lain akan
menyebabkan bagaimana mereka menilai sesuai juga akan berbeda. Dalam
konteks kearifan lokal, penjelasan ini memungkinkan akan adanya spesifikasi
dari masing-masing budaya lokal yang muncul dan dapat diwacanakan.
2.. Globalisasi 
Globalisasi adalah suatu keadaan, tetapi juga suatu tindakan di mana
aktivitas kehidupan tidak lokal dalam suatu negara tetapi mendunia. Hal ini dapat
dilihat pada istilah ekonomi global ketika transaksi ekonomi dilakukan lintas
negara secara massal. Istilah komunikasi global juga kita temukan ketika kita
berbincang-bincang tentang penggunaan internet sebagai media komunikasi yang
dapat mengakses berita dari seluruh dunia tanpa ada aturan yang terlalu ketat.
Globalisasi bukan gejala baru, bahkan negara-negara maju untuk masa
sekarang ini sudah menggunakan istilah globalisasi baru (new globalism). Bagi
Indonesia dan negara-negara Asia, globalisasi masih merupakan pengalaman
baru. Globalisasi sebagai gejala perubahan di masyarakat yang hampir melanda
seluruh bangsa sering dianggap ancaman dan tantangan terhadap integritas suatu
negara (Hadi Soesastro dalam Jacob Oetama, 2000:;36). Dengan demikian bila
suatu negara mempunyai identitas lokal tertentu, dalam hal ini kearifan lokal, ia
tidak mungkin lepas dari pengaruh globalisasi ini (lihat juga Seabrook, 2004).
Dalam lingkungan yang pesimistik, globalisasi menyebabkan adanya
globalophobia, suatu bentuk ketakutan terhadap arus globalisasi sehingga orang
atau lembaga harus mewaspadai secara serius dengan membuat langkah dan
kebijakan tertentu. Bagaimana pun globalisasi merupakan suatu yang tidak dapat
dihindari sehingga yang terpenting adalah bagaimana menyikapi dan
memanfaatkan secara baik efek global sesuai dengan harapan dan tujuan hidup
kita. Dalam hal kearifan lokal Nusantara, bagaimana kearifan lokal tetap dapat

hidup dan berkembang tetapi tidak ketinggalan jaman. Bagaimana kearifan lokal
dapat mengikuti arus perkembangan global sekaligus tetap dapat
mempertahankan identitas lokal kita, akan menyebabkan ia akan hidup terus dan
mengalami penguatan. Kearifan lokal sudah semestinya dapat berkolaborasi
dengan aneka perkembangan budaya yang melanda dan untuk tidak larut dan
hilang dari identitasnya sendiri.
3.  Tantangan Penggalian dan Peluang Analisisnya 
Uraian di atas diharapkan dapat menunjukkan adanya lahan subur untuk
penggalian kearifan lokal Nusantara. Luasnya budaya dan kemungkinan
pengembangannya menjadi tantangan tersendiri. Di samping itu perspektif
perubahan yang terjadi juga menjadi peluang tersendiri untuk menelusuri
eksistensinya. Dari unsur internalnya sendiri sampai yang eksternal seperti
pengaruh lintas budaya dan globalisasi.
Ada banyak hal untuk menjelaskan bagaimana pengaruh hubungan lintas
budaya dan globalisasi mempengaruhi kearifan lokal. Dalam perspektif nilai hal
tersebut dapat dilihat misalnya dalam nilai etis, apa yang dianggap baik pada
budaya masa lalu tidak tentu demikian untuk masa sekarang. Apa yang dianggap
wajar dan diterima pada budaya masa lalu mungkin sekarang dianggap aneh, atau
sebaliknya. Kita dapat melihat bagaimana orang menanggapi cara berpakaian
jaman sekarang, dengan model pakaian (agak) terbuka itu dianggap wajar, tetapi
tidak demikian dengan orang dulu. Begitu juga bagaimana laki-laki dan
perempuan bergaul, berbeda baik menurut pengertian budaya orang dulu dengan
orang sekarang. Hal-hal tersebut menunjukkan betapa kearifan lokal itu mendapat
banyak tantangan dengan adanya pengaruh budaya asing. Peluang penggalian dan
analisis dapat juga dilihat dari aspek nilai lain di bawah ini.
Dalam konteks nilai religi, hubungan antara religi dan perkembangan
budaya juga menunjukkan hal serupa. Bagaimana keberagamaan (bereligi) orang
Bali berubah akibat pengaruh luar. Antara lain pergeseran ini menyebabkan
penampilan budaya Bali menjadi berbeda antara dulu dan sekarang dan yang
akan datang. Informasi populer tentang hal ini dapat dilihat pada tulisan dengan
judul Antara Agama dan Budaya dalam http://www.iloveblue.com/bali
funky/artikel_nali/detail/1099.htm. Bagaimana nilai tertentu terkait dengan
kehidupan religius lokal bertemu dengan  budaya asing di Arab sendiri dan di
Indonesia dapat dilihat pada tulisan Islam dan Akulturasi Budaya Lokal dalam
http://media.isnet.org/islam/gtc/Akulturasi.html. Dijelaskan bahwa dalam
akulturasi budaya Arab dan Islam tidak ada pengharaman untuk tidak
memanfaatkan budaya asing dan sebaliknya.
Dalam kasus Indonesia juga dijelaskan bagaimana Islam yang berkarakter
dinamis, elastis, dan akomodatif dengan budaya lokal dapat berjalan bersama dan
mengutip Gus Dur, terjadi pribumisasi Islam. Di dalamnya dicontohkan
bagaimana konflik budaya material Masjid Demak juga merupakan bentuk
adaptasi budaya. Bagaimana tradisi Syi’ah dapat memberikan corak khusus bagi
Islam di Ternate juga merupakan hasil pertemuan budaya. Kajian ini dapat dilihat

pada tulisan Smith Al-Hadar dengan judul Sejarah dan Tradisi Syi’ah Ternate di
http://alhuda.or.id/rub_budaya.htm.
Dalam konteks nilai intelektual misalnya masalah kesehatan dalam
penyembuhan penyakit, Nusantara sangat kaya dari pangalaman intelektual
tentang pengobatan dengan obat tradisional sampai yang memanfaatkan kekuatan
supranatural. Tidak kalah dengan kearifan lokal Thailand dalam bidang keahlian
dan cara pengobatan ini sebagaimana  dapat diakses pada  dua situs yang memuat
abstrak penelitian yaitu http://www.chiangmai.ac.th/abstract1999/cgs/abstract
/cgs990029.html.  dan  http: //www.chiangmai.ac.th/abstract1999//edu/abstract
/edu9900108.html.
Ada banyak peluang untuk pengembangan wacana kearifan lokal
Nusantara. Dari beragam bentuk dan fungsinya dapat dilihat pada pemaparan di
bagian depan tulisan ini. Di samping itu kearifan lokal dapat didekati dari nilainilai yang berkembang di dalamnya seperti nilai religius, nilai etis, estetis,
intelektual atau bahkan nilai lain seperti ekonomi, teknologi dan lainnya.  Maka
kekayaan kearifan lokal menjadi lahan yang cukup subur untuk digali,
diwacanakan dan dianalisis mengingat faktor perkembangan budaya terjadi
dengan begitu pesatnya. Pengembangan kuliah dan kajian ala Hairudin Harun
dalam “Weltanschaung Melayu dalam era Teknologi Informasi: Komputer
menjadi Teras atau Puncak Tewasnya Pemikiran Tradisional Melayu?” dapat
memberi inspirasi bagaimana kita harus berpikir tentang kekayaan dan eksistensi
kearifan lokal Nusantara.
SENARAI 
Akulturasi : proses saling mempengaruhi satu kebudayaan terhadap kebudayaan
lain atau saling mempengaruhi antara dua kebudayaan yang mengakibatkan
adanya perubahan kebudayaan.

Cultural sytem (system budaya): salah satu wujud budaya dalam bentuk 
yang paling abstrak yaitu berupa gagasan, ide, konsep, pemikiran yang melandasi
perilaku berbudaya.

Cultural universal (kebudayaan universal): merupakan pengkategorian
kebudayaan yang terdiri dari tujuh unsur: Sistem religi dan upacara keagamaan;
Sistem dan organisasi kemasyarakatan; Sistem pengetahuan; Bahasa; Kesenian;.
Sistem mata pencaharian hidup; system teknologi dan peralatan. Setiap
kebudayaan terdapat tujuh unsur kebudayaan universal ini.

Difusi : merupakan proses yang menyebarkan penemuan (inovasi) ke seluruh
lapisan satu masyarakat atau  ke dalam satu bagian atau dari satu masyarakat ke
masyarakat lain

Evolusi : perubahan atau pergeseran  kebudayaan yang dilukiskan antropolog
berkembang dari bentuk yang rendah ke yang tinggi, dari kekejaman sampai


keberadaban. Globalisasi adalah suatu keadaan, tetapi juga suatu tindakan di
mana aktivitas kehidupan tidak lokal dalam suatu negara tetapi mendunia.
Local genius : juga disebut cultural identity adalah identitas/kepribadian budaya
bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah
kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri.
Local wisdom (kearifan lokal/setempat) : dapat dipahami sebagai gagasangagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik,
yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Social system atau sistem sosial : adalah salah satu wujud budaya, yaitu dalam
bentuk tata perilaku manusia yang terjadi akibat manusia mempunyai gagasan
(sistem nilai budaya) tertentu
Reinforcement: penguatan dan penerimaan suatu nilai budaya secara terusmenerus dalam masyarakat karena dianggap baik atau menjadi semakin baik.
DAFTAR PUSTAKA
Adeney,  Bernard T., 1995, Etika Sosial Lintas Budaya, Kanisius, Yogyakarta.
Al-Hadar Smith, “Syariah dan Tradisi Syi’ah Ternate”, dalam
http://alhuda.or.id/rub_budaya.htm , didown load 7/15/04.
Ali Moertopo,1978, Strategi Pembangunan Indonesia, CSIS, Jakarta. .
Ans, “Pola Perilaku Orang Bali  Merujuk Unsur Tradisional”, dalam
http://www.balipos.co.id, 4 September 2003.
Ayatrohaedi, 1986,  Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius), Pustaka Jaya,
Jakarta.
Bayu Dwi Mardana, “Menyingkap Fajar Sejarah Nusantara, dalam
http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2003/1018/bud2.html.
didownload 7/15/04.
“Bhineka Tunggal Ika”, dalam http://www.indonesiamedia.com/2004/05/early
/budaya/budaya-0504-bhineka.htm, didownload 7/15/04.
Chanpong Thookjit, “Medicinal Plants and Local Wisdom Applications in Rural
Areas, Amphoe Muang, Changwat Phayao, dalam
http://www.chiangmai.ac.th/abstract1999//edu/abstract/edu9900108.html,
didownload 7/21/04.
Dresthasuta, “Agama dan Budaya”, dalam http://www.iloveblue.com/bali_funky
/artikel_nali/detail/1099.htm, didownload 7/15/04.
Elly Burhainy Faizal,  (SP Daily) 31 Oktober 2003 dalam http://www.
papuaindependent.com
Fuad Hassan, “Pokok-pokok Bahasan Mengenai Budaya Nusantara Indonesia” ,
dalam  http://kongres.budpar.go.id/news/article/Pokok_pokok_bahasan.htm,
didownload 7/15/04.

Hadi Soesastro dalam Jacob Oetama, 2000,  Indonesia Abd XI di Tengah
Kepungan Perubahan Global, Penerbit Harian Kompas, Jakarta .
Hairudin Harun, “Weltanschaung Melayu dalam era Teknologi Informasi:
Komputer menjadi Teras atau Puncak Tewasnya Pemikiran Tradisional
Melayu?, dalam http://www.chass. utoronto.ca/epc/srb/cyber/haroutmal.
html, didownload 7/8/04.
I  Ketut Gobyah,  “Berpijak pada Kearifan Lokal”,  dalam http://www.balipos.
co.id , didownload 17/9/03.
Irfan Salim, “Islam dan Akulturasi  Budaya Lokal”, dalam http://media.
isnet.org/islam/gtc/Akulturasi.html, didownload 7/15/04.
Iun,  “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali”, dalam http://www.balipos.
co.id
Jukraphun Pianpanussak, “Local wisdom in the ritual of Karen Community”,
dalam http://www.chiangmai.ac .th/abstract1999/cgs/abstract/cgs990029.
html. Didownload 7/21/04.
Koenjaraningrat, 1990,  Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia,
Jakarta.
Koentjaraningrat, 1999,  Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Penerbit
Djambatan, Jakarta.
Lauer, Robert H, 1993,  Perspektif tentang Perubahan Sosial, alih bahasa:
Alimandan,   Rineka Cipta, Jakarta.
Niels Mulder , 1985, Pribadi dan Masyarakat di Jawa, Sinar Harapan, Jakarta.
Seabrook, Jeremy, “ Localizing Cultures”, dalam http://globalpolicy.
igc.org/globaliz/cultural/2004/0013jeremyseabrook.htm, didownload
7/19/04
Smith Al-Hadar dengan judul Sejarah dan Tradisi Syi’ah Ternate di
http://alhuda.or.id/rub_budaya.htm.
Soerjanto Poespowardojo, 1993, Strategi Kebudayaan Suatu Pendekatan
Filosofis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
“Sosial Budaya”, dalam http://202.159.18.43/data/sos.htm, didown load 7/15/04.
Soerjo Wicaksono, dalam http://www.Jawapalace.org/kami.html.
Pikiran Rakyat, 2003, “‘urf……”, , terbitan 6 Maret 2003
Van Peursen, 1976, Strategi Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta.









Comments