Ekonomi Islam dan Local Wisdom

{UNIQUE NEWS CENTER at home and abroad}
Istilah local wisdom (kearifan lokal) mempunyai arti yang sangat mendalam dan menjadi suatu 
kosa kata yang sedang familiar di telinga kita akhir-akhir ini. Banyak ungkapan dan perilaku 
yang bermuatan nilai luhur, penuh kearifan, muncul di komunitas lokal sebagai upaya dalam menyikapi permasalahan kehidupan yang dapat dipastikan akan dialami oleh masyarakat tersebut. Realita ini muncul ke permukaan karena tidak adanya solusi global yang dapat membantu memberikan jawaban terhadap segala kejadian yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka.
Premis-premis umum yang selama ini menjadi standar bersama dalam membedah dan “mengobati” setiap penyakit yang timbul sudah tidak lagi menjangkau permasalahan yang mengemuka di komunitas lokal. Masyarakat yang menghuni di suatu tempat tertentu sudah dapat menyelesaikan permasalahannya dengan solusi yang penuh kearifan tanpa harus memakai standar yang berlaku secara umum.
Di sisi lain, komunitas lokal (local community) menjawab tantangan kehidupan ini dengan kearifan dan kebijaksanaan yang dimilikinya. Kearifan atau kebijaksanaan (wisdom) tersebut muncul bisa jadi karena pengalaman yang selama ini terjadi telah menjadikannya sebagai jawaban dan solusi terhadap masalah yang sedang dihadapinya.
Faktor ke-terlibatan para pendahulu, nenek moyang, yang mewariskan tradisi tersebut kepada generasi berikutnya menjadi sangat penting bagi terjaganya kearifan tersebut. Dalam perkembangannya, bisa jadi kearifan yang timbul antar komunitas lokal itu berbeda dengan yang lainnya, tanpa menghilangkan subtansi yang dimiliki dari nilai kearifan tersebut, yaitu berfungsi sebagai solusi terhadap masalah yang ada di sekitarnya. Sehingga, dalam beberapa hal akan memungkinkan timbulnya kearifan yang beranekaragam dari komunitas lokal tersebut, walau dengan obyek permasalahan yang sama.
Sebagai misal, orang Jawa yang tinggal di daerah gunung atau pedesaan akan berbeda kearifannya dengan orang Jawa yang tinggal di perkotaan tetkala sama-sama melihat permasalahan mereka di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang Jawa gunung-pedesaan akan mempunyai kecenderungan menjadi seorang petani yang tangguh lagi ulet dalam menghadapi tuntutan kehidupan dan lingkungan. Faktor alam juga menjadi penopang bagi diri orang Jawa gunung-pedesaan untuk menjadi seorang petani dari pada menjadi seorang pedagang atau bekerja di pabrik dan industri. Lain halnya dengan orang Jawa yang tinggal dan hidup di daerah perkotaan akan mempunyai kearifan lain yang menuntun dirinya sebagai seorang pedagang atau sebagai karyawan yang bekerja di perusahaan swasta atau bekerja sebagai pejabat di instansi pemerintahan dari pada bekerja sebagai seorang petani.
Ekonomi Islam di Indonesia secara riil sudah dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat muslim pada tingkat keluarga. Bahkan, komunitas muslim tertentu telah men-jalankan tata cara pemenuhan kebutuhan hidupnya dengan penuh kearifan dan kebijak-sanaan. Nilai-nilai wisdom (kearifan) tersebut dijadikan acuan di dalam melakukan kegiatan ekonomi. Dalam hal ini, ekonomi Islam difahami sebagai tata cara pemenuhan kebutuh-an hidup yang orientasinya didasarkan pada aturan syariah Islam untuk pencapaian keridhaan Allah Swt. Terminologi normative ini akan dapat diaplikasikan secara riil oleh umat Islam jika ada standar nilai ketaatan kepada aturan yang sudah baku terhadap nash-nash al-Qur’an atau Sunnah Nabawiyah. Banyak ayat al-Qur’an dan as-Sunnah yang memberikan panduan terhadap umat Islam untuk melakukan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan petunjuk-Nya. Larangan riba, promosi jual beli, hidup sederhana, tidak bertindak berlebihan atau melampaui batas (no israf), tidak berbuat kerusakan (no fasad), intensifikasi zakat dan shadaqah, serta perintah bekerjasama dalam usaha adalah deretan ajaran Islam yang mengandung nilai ekonomi.
Perilaku ekonomi umat Islam mengarah kepada nilai-nilai dasar yang telah digariskan dalam ajaran Islam seperti yang ada di atas. Praktek riba sudah divonis sebagai sesuatu yang haram dan harus ditinggalkan oleh pelaku ekonomi muslim. Pengharaman riba ini menjadi sesuatu yang fundamental dalam ekonomi Islam. Bahkan, instrumen riba tersebut menjadi pembeda antara status orang muslim dengan orang kafir. Artinya, pelaku praktek riba sudah tidak diakui keislamannya dan termasuk kepada golongan orang-orang yang kafir.
Mengapa ajaran Islam memberikan penegasan seperti ini? Hal ini dikarenakan riba menjadi sesuatu yang mengerikan dan merusak sistem perekonomian. Dengan riba, ada pihak yang didzalimi. Bahkan, riba merupakan salah satu penyebab krisis ekonomi. Keseimbangan (equilibrium) dalam ekonomi akan tercabut tetkala praktek riba menjadi pondasi setiap kegiatan ekonomi. Maka tidak salah, jika masyarakat kita memberikan laqob (gelar) kepada para pengambil riba sebagai “lindah darat”. Lintah adalah suatu binatang yang biasa tinggal di air dengan darah sebagai menu kesukaannya. Jika ada “lindah darat” maka mereka adalah pengambil riba yang menghisab darah masyarakat di darat melalui pengembangbiakan uang dengan sistem bunga.
Secara historis, pelarangan praktek riba sudah ada sejak zaman dahulu. Sebelum Nabi Muhammad Saw membawa risalah keislaman, Nabi-Nabi terdahulu sudah menegaskan akan keharaman riba. Bahkan, para filosof Yunani Kuno sudah memberikan kecaman yang keras terhadap praktek riba.
Sebagai solusinya, ajaran Islam mempromosikan jual-beli sebagai satu model pengganti praktek riba. Dalam al-Qur’an ditegaskan secara nyata bahwa jual-beli me-rupakan sesuatu yang halal untuk dipraktekkan dalam mengisi kegiatan ekonomi. Dengan adanya jual-beli berarti meneguhkan kembali nilai keseimbangan ekonomi, karena di dalamnya terjadi interaksi antara pihak pemilik barang (penjual) dan pihak yang memiliki uang (pembeli). Realita ini menguatkan terjadinya sirkulasi barang dan uang secara riil.
Seumpamanya, selama dalam kurun waktu satu tahun tidak terjadi transaksi jual-beli akan dapat dipastikan adanya penumpukkan barang dan uang pada satu pihak. Oleh karena itu, ajaran Islam memandu umatnya untuk melakukan jual-beli secara tidak langsung telah memberikan andil dalam proses penyehatan kegiatan ekonomi.
Nilai ekonomi Islam yang lain dapat berupa peniadaan sikap berlebihan dan berbuat kerusakan dalam menjalankan aktifitas ekonomi. Kedua perilaku ini termasuk ke dalam negative action yang membawa kepada implikasi terjadinya ketidakseimbangan ekonomi atau bahkan ketidakseimbangan kosmos ini sendiri.
Dalam skala ekonomi mikro, perilaku berlebihan akan berakibat pada tidak terdistribusikan barang konsumsi secara merata, karena ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkannya dalam porsi yang tidak wajar, sudah berlebihan, sedang di pihak lain ada yang mengalami kekurangan dalam mengkonsumsi barang yang diperlukan.
Adanya pembalakan liar beberapa hutan di kawasan nusantara memberikan konstribusi peningkatan kerusakan di alam. Aturan normatif syariah Islam menuntun bagi umatnya untuk selalu menjauhi perbuatan yang mengarah kepada kerusakan lingkungan.
Beberapa masyarakat yang tinggal di sekitar hutan telah menyadari akan pentingnya keseimbangan hidup di lingkungan sekitar. Masyarakat sekitar hutan telah memahami sekaligus telah mempraktekkan pengetahuan tentang ekonomi lingkungan.
Bagaimana cara memenuhi kebutuhan hidup dengan bersandar pada hutan yang ada di lingkungannya? Mereka menjadikan hutan dan lingkungan sekelilingnya seperti nyawa yang ada di badannya. Hubungan simbiosis yang saling menguntungan ini tetap terjaga secara harmoni. Karena, jika hutan yang ada di lingkungan sekitarnya mengalami kerusakan secara tidak langsung akan mengancam jiwanya. Begitulah, sikap kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat pinggiran hutan. Perbuatan mereka ini telah mencerminkan pelaksanaan ekonomi Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Lain halnya, dengan perilaku yang dijalani oleh petani yang tinggal di pedesaan. Kesederhaan telah menjadi gaya hidup mereka. Pagi hari, para petani pergi bersama ke sawahnya. Mereka bercocok tanam dengan berharap agar pengelolaan sawahnya dapat memberikan penghasilan yang nantinya bisa dinikmati untuk memenuhi kebutuhan hidup-nya. Mereka adalah sosok pribadi yang terlatih untuk menjalani hidup dengan selalu tawakkal kepada Allah Swt, Dzat Yang Mengatur kehidupan di alam ini. Hanya karena kemurahan dan anugerah dari Allah Swt, para petani dapat menikmati hasil panen sawah yang dikelolanya dengan penuh kesabaran.
Perilaku kehidupan petani ini telah mencermin-kan adanya kearifan lokal (local wisdom) yang terus dipertahankan oleh mereka. Betapa indahnya mengarungi kehidupan ini dengan diterangi oleh sinar-sinar kearifan lokal yang bersumber dari ajaran ekonomi Islam.
Wallahu ‘alam bis showab.

Comments