76,6 Persen Siswa SMP Buta Matematika

Kemenangan siswa Indonesia di berbagai ajang olimpiade internasional rupanya tak membuat kualitas siswa Indonesia meningkat. Justru sebaliknya, sekitar 76,6 persen siswa setingkat SMP ternyata dinilai ”buta” matematika.

Demikian diungkapkan Iwan Pranoto, pakar matematika dari Institut Teknologi Bandung, dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan oleh Ikatan Guru Indonesia, Jumat (28/1/2011). Hadir dalam diskusi yang dilangsungkan di Sekretariat Gerakan Indonesia Mengajar (GIM), antara lain, Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal, Ketua Program GIM Anies Baswedan (tuan rumah), guru besar ITB Bana Kartasasmita, serta sejumlah dosen dan guru.

Menurut dia, dihitung dari skala 6, kemampuan matematika siswa Indonesia hanya berada di level kedua. Ironisnya, lanjut Iwan, kondisi itu bertahan sejak 2003. Artinya, selama tujuh tahun,kondisi itu stagnan alias tak berubah.

"Di sini tampak bahwa siswa Indonesia dengan profisiensi di bawah level dua sangat tinggi, mencapai 76,6 persen dari populasi. Juga tampak, jika dibandingkan dengan 2003, kondisinya hampir tidak berubah. Ini menunjukkan bahwa pengajaran matematika yang sekarang tidak mampu mengangkat ke level dua atau lebih. Pembenahan pendidikan matematika sekolah kita belum berhasil," ujar Iwan dihubungi di Jakarta, Senin.
Menurut Iwan, berdasarkan hasil The Program for International Student Assessment 2010, posisi Indonesia mengenaskan, yaitu hanya juara ketiga dari bawah. Indonesia hanya lebih baik daripada Kirgistan dan Panama.

"Berdasarkan penyajian grafik, yang harus diperhatikan bukan posisi Indonesia yang di posisi tiga dari bawah," papar Iwan.

Namun, dia melanjutkan, yang justru merisaukan adalah dua fakta berikut, yaitu persentase siswa Indonesia yang di bawah level kedua sangat besar (76,6 persen) dan persentase siswa yang di level 5 dan 6 secara statistika tidak ada.

Ia menuturkan, menurut definisi level profisiensi matematika dari OECD, siswa di bawah level dua dianggap tidak akan mampu berfungsi efektif di kehidupan abad ke-21. Menurut dia, penyebab utama hasil terburuk ini adalah ketidaksesuaian ekspektasi kebermatematikaan di program pendidikan matematika di Indonesia dan dunia pada abad ke-21.

"Kegiatan bermatematika yang dituntut dunia adalah bermatematika utuh, sedangkan yang dilakukan siswa kita hanyalah parsial. Selain itu, proses belajar matematika di Indonesia masih berpusat pada penyerapan pengetahuan tanpa pemaknaan. Padahal, yang dituntut di dunia global justru berpusat pada pemanfaatan hasil belajar matematika dalam kehidupan, yaitu pemahaman, keterampilan, dan karakter," ungkapnya.

Comments