GUYONAN DALAM MASYARAKAT KITA

Guyon atau humor tentu akrab dengan keseharian kita. Bagaikan bumbu dalam masakan, humor menambah sedap interaksi. Pergaulan tanpa humor akan terasa hambar dan kaku. Ini bisa terjadi di kancah pergaulan mana pun. Bisa di rumah, di sekolah, di tempat kerja, di seminar, di pasar. Pokoknya di mana saja, deh.
Humor dalam konteks hubungan pergaulan sosial, lebih banyak terjadi pada hubungan horizontal daripada vertikal. Misalnya, di kantor atau di kampung, orang-orang lebih suka bergurau dengan yang sederajat (sesama anak buah) daripada dengan yang berbeda derajatnya. Ini terjadi karena ada perasaan ewuh-pakewuh, sungkan, atau menjaga wibawa.
Selain itu, ini juga dikarenakan di antara mereka mengetahui masalah-masalah bersama. Kesulitan membeli bahan bakar minyak, misalnya, dialami dengan pengalaman yang relatif sama di antara masyarakat tingkat bawah. Demikian halnya dengan kesulitan tentang bagaimana memasarkan produk baru dari suatu perusahaan akan dialami dengan persepsi yang relatif sama di antara petugas-petugas pemasaran.
Tujuan orang bergurau
Untuk apa sebenarnya orang bergurau? Ini akan meliputi beberapa hal. Pertama, ingin mendekatkan hubungan sosial atau berakrab-akrab. Kedua, ingin mencairkan suasana yang kaku. Ketiga, menghibur diri atau orang lain. Keempat, ingin menyampaikan pesan terselubung yang jika dikatakan langsung akan menjadi tidak enak atau malu. Kelima, menikmati kekonyolan atau kelucuan. Keenam, manifestasi dari sifat kekanak-kanakan yang ada pada setiap orang dewasa.
Humor berkelindan (saling mengait) dengan kultur atau budaya masyarakat tempat humor itu ada. Masyarakat agraris dengan kultur agraris, tentu menjalankan humor yang berkenaan dengan dunia agraris sehari-hari. Kosakata yang digunakan juga berkenaan dengan dunia itu. Masyarakat yang cerdas-kritis-kreatif akan melahirkan humor-humor yang cerdas-kritis-kreatif juga.
Dalam struktur masyarakat kita, humor menempati posisi yang tidak terlalu penting. Gurauan dianggap sebagai hal yang remeh yang sekadar berfungsi sebagai pelengkap semata dari perbincangan-perbincangan. Saat kita mengalami zaman feodal dulu (dalam kerajaan-kerajaan sebelum kita merdeka atau bahkan hingga sekarang di wilayah-wilayah tertentu) humor dapat dianggap sesuatu yang “saru” atau tidak pantas. Apalagi dilakukan bawahan, abdi dalem terhadap atasan atau bangsawan. Sehingga rakyat ketika ingin bergurau harus memikirkan tempat ia berkomunikasi (empan papan). Kadang-kadang bentuk humornya terselubung melalui tembang-tembang, pertunjukan seni tradisional, wayang, dan sebagainya.
Karena humor memiliki posisi yang rendah atau dilakukan oleh orang-orang yang dianggap konyol, tidak serius, maka bentuk humor menjadi ajang kekonyolan pula. Dapat dilihat dalam lawak-lawak di televisi atau radio atau film, pelaku humor sering menjadi bahan pelecehan oleh mitra mainnya, bahkan oleh penontonnya jika itu bersifat interaktif. Humor yang lucu adalah humor yang melecehkan pelakunya. Misalnya, diolok-olok kejelekan fisiknya, kebodohannya, statusnya, dan sebagainya. Sehingga, orang yang memiliki sense of humour mesti memahami risiko dari apa yang dilakukannya, yaitu kemungkinan dilecehkan.
Sebenarnya bila diamati, humor adalah semacam produk kecerdasan. Sebuah kemampuan yang dimiliki orang dengan tingkat yang berbeda-beda. Kemampuan ini dapat dilatih dan dipelajari, sama halnya dengan kecerdasan-kecerdasan lain. Misalnya dalam kecerdasan majemuk (multiple intelligences) seperti yang diperkenalkan oleh Howard Gardner atau kecerdasan emosional/sosial (emotional intelligence atau social intelligence) seperti yang dikembangkan oleh Daniel Goldman. Meskipun kedua tokoh psikologi itu tak pernah menyebutkan bahwa humor merupakan kecerdasan tersendiri. Namun, praktiknya memperlihatkan hal itu.

Jadi, bila kita menempatkan humor dalam posisi yang terhormat, maka akan terjadi bahwa humor juga menjadi bagian dari industri yang sehat, menjadi terapi psikologis bagi setiap individu, dan menjadi profesi bagi yang mau menekuninya.***

Comments